Oleh: AM. Sadat
(Ini cerita tentang sakitnya Aleesha – anak saya ke-5, usia 4 bulan – akibat Sepsis dan Miokarditis, sehingga harus menjalani perawatan selama 24 hari di RS)
Hari Minggu 13 Desember 2020. Awal Mula, Tanpa Gejala.
Aleesha minum ASI-nya berkurang, agak rewel dan tidak bisa tidur nyenyak. Besoknya dia jadwal vaksin, jadi sekalian diperiksa. Saat itu dokter tidak mencurigai apapun, hanya diduga perlu variasi makanan, jadi boleh dikasih makanan tambahan selain ASI bila perlu (sampai saat ini Aleesha masih ASI eksklusif). Senin malam dia tidurnya gelisah dan minumnya sedikit. Demikian juga hari Selasa. Kami mengira ini hanya efek vaksin.
Kondisi ini berlanjut sampai hari Rabu. Tidak ada panas/demam, tidak ada batuk pilek. Hanya tidak enak minum ASI dan tidak nyenyak tidur.
Hari 1. Rabu 16 Desember. Jam 1515. Kejadian Yang Tiba-tiba Itu.
Aleesha tiba-tiba sesak nafas. Saya pikir cuma karena alergi vaksin. Istri saya bergegas melarikan ke rumah sakit. Saya masih santai, shalat Ashar, ngeteh sambil menunggu kabar dari istri saya. Paling disuntik anti alergi sama dokter sudah sembuh, pikir saya. Saya pun lanjut bekerja, menunggu tamu untuk meeting.
Tiba-tiba istri saya telepon bilang kalau mereka sudah sampai RS dan Aleesha harus dipasang ventilator!
Saya langsung bergegas menyusul. Di perjalanan saya sempat protes kepada dokter lewat telepon, kenapa harus dipasang ventilator. Dan saya sangat terkejut setelah dijelaskan bahwa Aleesha bukan sesak nafas, tapi gagal nafas! Saat ini badannya sudah membiru karena kekurangan oksigen, kalau terlambat ditangani bisa gagal jantung bahkan beresiko meninggal! Langsung saya ngebut ke IGD. Sesampainya di sana Aleesha sudah tidak sadar, nafasnya tersengal-sengal, badannya seperti kejang. Beberapa dokter dan perawat sedang memberikan bantuan ventilasi pernafasan, dan berupaya mencari nadi untuk memasang infus.
Butuh hingga 2 jam sampai akhirnya berhasil memasang jarum infus, itupun harus dipasang di vena leher karena di tempat lain sudah tidak bisa ditemukan. Akibat dehidrasi, kata dokter. Setelah itu baru dipasang ventilator mekanik dengan selang langsung ke paru-paru (seperti yang dipakai orang-orang yang tidak bisa bernafas akibat Covid). Badan Aleesha sudah membiru dan panas tinggi hingga 39 derajat. Kami berdua hanya bisa berdoa terus, semoga segera tertangani. Setelah keadaan daruratnya mulai teratasi, sekitar jam 21, dia masuk ke ICU. Hasil tes Covid negatif. Sampel darah dan foto rontgen diambil untuk dianalisa.
Kami mulai lega dan berpikir paling cuma sehari dua hari di ICU, dan bisa segera pulang.
Hari 2. Kamis 17 Desember. Kesimpulan Yang Belum Meyakinkan.
Pagi itu kami berkonsultasi dengan dr. Harry Purwanto (Dokter Spesialis Anak/DSA Sub Spesialis Gawat Darurat), selanjutnya menjadi ketua tim dokter. Beliau mencurigai Aleesha menderita DM (Diabetes Mellitus) tipe 1 karena kadar gula darahnya mencapai 380! Normalnya 80-160. Sudah disuntik insulin dan antibiotik, karena diduga juga terjadi infeksi bakteri. Harus menginap lagi di ICU. Kami masih tenang, paling besok bisa pulang.
Besoknya kami berkonsultasi ke Dr. Aman Pulungan (DSA – Endokrin, ketua IDAI/Ikatan Dokter Anak Indonesia), tapi beliau belum memastikan DM karena gula darah mulai normal setelah dikasih suntikan insulin. Indikator lain masih belum baik dan belum stabil. Menginap lagi di ICU.
Hari Sabtu kondisi Aleesha mulai stabil. Kapasitas ventilator dan oksigen mulai dikurangi. Diperkirakan Senin bisa keluar ICU. Untuk menaikkan Hb yang drop (hanya 7 dari seharusnya 12), maka malam itu dilakukan transfusi darah.
Di saat inilah mulai terjadi drama. Saat dilakukan transfusi darah, tiba-tiba Aleesha kambuh lagi sesaknya, gagal nafas lagi, sehingga kekuatan ventilator harus dinaikkan maksimal. Kondisinya drop dan tidak sadarkan diri.
Hari 6. Minggu 21 Desember. Mulai Dari Nol Lagi.
Aleesha tetap hilang kesadaran, badannya panas, dan nafasnya berat. Gula darah melonjak lagi. Muncul pneumonia/radang paru. Dilakukan tes Covid lagi dan hasilnya tetap negatif.
Kali ini kondisinya kembali ke titik nol seperti sejak pertama kali masuk ICU. Atau bahkan lebih buruk. Dan hari-hari berikutnya satu-persatu berita buruk datang:
1. Hasil lab menunjukkan Aleesha menderita Sepsis (keracunan darah, dimana bakteri sudah menyebar ke seluruh tubuh melalui darah dan mengakibatkan peradangan organ tubuh vital). Levelnya mencapai angka 9,5 alias Sepsis Parah (normalnya di bawah 1). Bila mencapai 10 ke atas maka sudah Shock Sepsis yang biasanya ditandai dengan pendarahan di sebagian/seluruh organ penting tubuh.
2. Muncul Pneumonia (radang paru-paru) yang semakin lama semakin banyak. Hasil lab juga menunjukkan gangguan di liver dan ginjal, juga kandung kemih, akibat Sepsis yang sudah menjalar hampir ke seluruh tubuh. Saking parnonya dokter, Aleesha bahkan sampai dites Covid lagi ketiga kali dan hasilnya tetap negatif.
3. Aleesha juga menderita Miokarditis (peradangan otot jantung). Jadi jantung sisi kirinya membengkak dan ototnya melemah, sehingga penyaluran oksigen ke seluruh tubuh jadi terganggu. Miokarditis menyebabkan jantung tidak bisa mengalirkan darah ke organ lainnya. Kombinasi Sepsis dan Miokarditis ini memperparah gangguan organ lain seperti paru-paru, liver, ginjal dan lain-lain.
Karena beratnya penyakit, akhirnya dr. Harry mulai berkonsultasi dengan beberapa dokter anak sub spesialis lain seperti jantung, metabolik, paru-paru, hepatologi, dan lainnya. Kami juga berkonsultasi dengan Prof. Amin Subandrio (Kepala Laboratorium Eijkman). Sampai akhir pengobatan, tidak kurang dari 12 dokter spesialis anak dengan beragam sub spesialis yang terlibat menangani. Mulai dari paru-paru, jantung, endokrin, metabolik, hepatologi, mikrobiologi, fisioterapi dan sebagainya.
Sejak hari Minggu sampai Rabu, kondisi Aleesha makin hari makin memburuk. Semua indikatornya cenderung menurun. Bahkan dari sekian banyak dokter sub spesialis yang kami konsultasi, semuanya heran kenapa bisa Aleesha yang semula sehat bisa kena infeksi ganas dengan hampir tanpa gejala sebelumnya. Berkali-kali kami harus menjelaskan ulang kronologi kejadian ke semua dokter, dan semuanya tidak berhasil menemukan kesimpulan yang jelas tentang kenapa bisa terjadi. Intinya sekarang Aleesha menderita infeksi ganas akut yang berkembang menjadi Sepsis, dan menyebabkan gangguan di semua organ penting tubuhnya.
Sejak hari Sabtu malam Aleesha juga belum sadar, nafasnya terus terengah-engah, dan badannya bengkak akibat cairan yang tidak bisa dikeluarkan dengan sempurna. Ventilator dan peralatan penunjang hidup lainnya terus dipasang pada level maksimal.
Setiap hari setelah Subuh kami bergegas berangkat ke RS, menunggu di ruang tunggu ICU, sementara Aleesha ada di dalam. Yang bisa kami lakukan hanya menunggu para dokter visit dan kemudian memberikan penjelasan tentang kondisinya, dan apa yang akan dilakukan, sesuai bidang keahlian masing-masing. Setiap hari. Waktu senggang kami gunakan untuk mengaji dan berdoa. Dan makan. Dan semua makanan terasa hambar. Dan menangis. Malamnya kami pulang dalam keadaan lelah. Dan kami berdua sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Kami hanya bisa saling menguatkan satu sama lain. Demikian setiap hari.
Hari 9. Kamis 24 Desember. Pasrah Dalam Arti Yang Sebenarnya.
“Dok, anak saya apa masih bisa sembuh? “, tanya saya kepada Dr. Harry. Saat saya menanyakan ini, air mata saya berlinang, juga istri saya yang duduk di sebelah. Dr. Harry terdiam. Hanya menggerakkan mouse komputernya. Suster di sebelahnya juga terdiam.
“Kalau tidak ada harapan, kami sudah ikhlas Dok, yang penting lakukan yang terbaik buat dia. Tapi apapun hasilnya, kami ikhlas”, saya menangis. Tangan saya menggenggam tangan istri yang juga menangis. Entah sudah berapa banyak air mata yang tertumpah sejak Aleesha masuk rumah sakit minggu lalu.
“Kami gak tega melihat dia menderita Dok”, kata saya melanjutkan. Dan kami makin menangis sesenggukan. Betapa kasihannya anak usia 4 bulan yang saat ini hidup dengan dukungan peralatan medis lengkap, antara sadar dan tidak, sendirian di ruangannya, tidak bisa kami temani, harus menerima sekian banyak antibiotik, padahal selama ini cuma minum ASI. Nafasnya sesak, badannya bengkak, dan… Entahlah, kami kasihan melihatnya. Belum lagi kondisi organ dalamnya yang hampir semuanya terganggu dan tidak berfungsi normal.
“Kita coba yang terbaik ya Pak. Saya sudah berkonsultasi dengan semua dokter terbaik yang saya kenal. InsyaAllah masih ada jalan”, kata Dr. Harry.
Malam sebelumnya, seperti biasanya kami menyempatkan shalat malam bersama anak-anak, dan hari itu, saya dan istri sudah sampai pada titik bahwa kami harus ikhlas atas apapun yang terjadi pada Aleesha. Kami hanya ingin agar dia segera pulang. Segera kembali. Terserah Allah mau memulangkannya ke mana: ke rumah kami, atau ke rumah-Nya. Saya mengajak istri dan anak-anak kami lainnya untuk mengikhlaskan, seandainya Allah berkehendak untuk mengambil Aleesha. karena kami yakin kalau Aleesha meninggal, dia akan langsung masuk surga.
Kami yakin sudah berusaha semaksimal mungkin, dan kami ikhlas kalau Allah berkehendak untuk mengambilnya. Mungkin memang kami dititipi Aleesha hanya untuk 4 bulan saja, untuk sekedar melengkapi kebahagiaan kami, ayah, ibu, dan keempat kakaknya yang sangat menyayanginya. Bisa jadi sekarang sudah waktunya dia kembali ke pemilik yang sebenarnya.
Kami sadar, kami tidak pernah meminta anak, dan sangat berbahagia saat mengetahui istri saya hamil lagi setelah 9 tahun, di usianya yang sudah tidak muda lagi. Dan kami harus ikhlas karena anak – juga harta – hanyalah titipan. Hanya amanah.
Namun bila Allah berkehendak untuk mengembalikan Aleesha ke kami, kami siap untuk menjaga amanah ini. Dan akan melakukan upaya terbaik apapun untuk menyembuhkannya, dan menerima apapun kondisinya.
Malam itu setelah berkonsultasi dengan dr. Harry kami menjenguk Aleesha lagi. Rupanya dia mulai sadar. Pertama kali membuka mata sejak hari Minggu. Kondisinya sangat menyedihkan, seluruh badannya makin bengkak, berat badannya naik dari 6,3 menjadi 7,5 kg – hanya dalam waktu seminggu. Nafasnya masih tersengal-sengal. Tangannya penuh dengan kabel dan selang. Juga mulut dan hidungnya. Suaranya tidak bisa keluar karena pita suaranya tertekan selang ventilator. Dia hanya bisa membuka matanya. Tapi yang terdengar hanya bunyi tiit-tiit-tiit dari berbagai monitor dan peralatan penunjang hidupnya. Entah apa saja namanya.
Dan saat itulah saya menguatkan diri untuk bilang padanya: “Adik, segera sembuh ya, segera pulang. Terserah adik mau pulang ke mana, mau pulang ke rumah atau ke Surga”, dan tangis kami pun kembali pecah.
Entah kenapa malam itu rasanya plong sekali. Walaupun kami menangis hampir sepanjang malam hingga kami tertidur karena kelelahan, tapi kami betul-betul pasrah. Pasrah pada ketentuan Allah. Apapun itu. Yang penting kami sudah berusaha. Semaksimal mungkin. Dan kami yakin Allah pasti akan memberikan yang terbaik. Pasti.
Hari-hari berlalu. Hati kami sudah plong. Hari itu dan beberapa hari berikutnya dokter terus berusaha melakukan pengobatan. Antibiotik dan obat-obatan lain sampai beberapa kali diubah dan disesuaikan. Beberapa dokter melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari penyebab sakitnya, bahkan sampai harus mengirim sampel darah ke luar negeri.
Dokter juga memutuskan untuk melakukan transfusi darah lagi karena Hb-nya adik drop sampai 6, dan kesadarannya naik turun. Juga melakukan transfusi Immunoglobulin (plasma darah yang biasanya diberikan pada pasien Covid). Pilihan yang beresiko mengingat saat transfusi sebelumnya kondisi Aleesha langsung drop. Tapi bila tidak ditransfusi maka kondisinya akan makin buruk karena Hb-nya cenderung turun.
Kami pasrah. Apapun hasilnya.
Hari 12. Minggu 27 Desember. Ketika Allah Berkehendak.
Pagi itu, Aleesha terlihat membaik. Mulai melek lagi. Dan bengkak di wajahnya mulai berkurang. Transfusi darahnya membawa hasil. Juga antibiotiknya. Menurut dokter kondisi klinisnya mulai membaik, kecuali jantung, liver dan ginjal yang masih bermasalah. Kami sangat bahagia. Harapan itu muncul kembali. Alhamdulillah.
Malam itu Aleesha demam dan sesak nafas lagi sehingga ventilator pun harus disetel maksimal lagi. Tapi ternyata besoknya hasil pemeriksaan darah Aleesha menunjukkan Sepsis mulai tertangani, walaupun belum normal. Miokarditis juga masih belum membaik, tapi juga tidak memburuk. Juga di paru-parunya masih banyak slem/lendir, dan masih ada peradangan.
Hari-hari berikutnya, Aleesha mulai membaik. Baik kondisi fisiknya maupun kondisi klinisnya.
Pagi itu, hari Kamis, sehari sebelum Tahun Baru, setelah shalat Subuh, HP saya berdering, di layar tertulis nomor rumah sakit, langsung saya angkat,”Halo?”
“Dari ICU pak, Dokter jaga mau bicara.”
Deg! Ya Allah ada apa lagi ini?
Setelah memperkenalkan diri, sang dokter mulai menyampaikan, “Kondisi anak Aleesha belum membaik Pak, tadi malam masih demam dan ventilator masih disetel di angka 50”, saya langsung lemas mendengarnya.
Berikutnya dia menyampaikan beberapa penjelasan tentang tidak stabilnya kondisi Aleesha, saya mendengar dengan seksama sambil menunggu kesimpulan dan usulan apa yang akan disampaikan. “Jadi kami berencana untuk melepas ventilator, karena ada kasus beberapa pasien justru membaik setelah ventilator dilepas, selama indikator-indikator tertentu sudah ada perbaikan. Tapi kalau ternyata pasien mengalami gagal nafas lagi, terpaksa harus dipasang lagi ventilatornya. Apakah Bapak setuju?”
Entah kenapa saya langsung setuju. Pilihan yang sangat beresiko. Tapi saya setuju.
Pagi itu kami bergegas ke RS. Dan kami harap-harap cemas dan memohon kepada Allah agar Aleesha bisa bertahan tanpa ventilator. Dan… Ternyata hingga malam itu dia baik-baik saja! Dan sampai besoknya pun dia tetap bertahan tanpa ventilator, cukup dibantu oksigen saja. Alhamdulillah.
Hati kami mulai berani berharap bahwa Aleesha akan benar-benar sembuh. Dan benar juga, beberapa hari berikutnya datang kabar baik tentang Sepsis yang mulai menurun signifikan, fungsi ginjal dan liver yang mulai membaik. Juga kondisi jantungnya yang sudah lebih baik. Alhamdulillah.
Dan akhirnya setelah 21 hari di ICU, tanggal 6 Januari Aleesha bisa dirawat di kamar. Bisa ditemani langsung oleh ibunya. Sempat naik turun kondisinya tapi berangsur-angsur pulih. Selang infus dan kateter akhirnya dilepas. Dan setelah menjalani 3 hari di kamar perawatan akhirnya Aleesha pulang ke rumah, tanggal 9 Januari.
Namun karena reflek menelannya masih belum bagus akibat kelamaan di ICU, terpaksa dia masih harus menggunakan selang NGT/sonde. Yaitu selang untuk memasukkan ASI langsung ke lambung secara perlahan, tiap 3 jam sekali selama 1 jam setiap kali pemberian. Hal ini cukup wajar terjadi di bayi, karena lama di ICU dan “keenakan” menerima ASI lewat selang maka dia jadi “lupa” caranya minum ASI lewat mulut.
Jadi sementara pakai NGT di rumah – agar kebutuhan ASI terpenuhi jumlahnya – dia juga dilatih agar bisa minum ASI secara langsung, atau pakai botol. Bila berjalan lancar, mestinya NGT bisa dilepas dalam 1-2 minggu. Dan selama itu maka saya dan istri harus stand by 24 jam sebagai perawat anak kami. Alhamdulillah.
Beberapa pelajaran yang kami ambil dari kejadian ini:
1. Walaupun bisa dibilang sudah sembuh, penyebab sebenarnya dari sakitnya Aleesha ini masih belum terpecahkan. Dari mana dia terinfeksi? Kenapa tidak ada demam atau gejala sebelumnya? Kenapa langsung terjadi gagal nafas? Kami masih akan berkonsultasi lagi dengan beberapa dokter untuk memastikan tidak ada efek jangka panjang dari sakitnya, atau kelainan tertentu yang melatarbelakanginya. Dan agar kesehatan Aleesha bisa kembali bahkan lebih baik dari sebelumnya. Amin.
2. Jangan remehkan gejala sakit pada bayi. Aleesha sama sekali tidak panas, batuk atau sesak. Bahkan sebelum masuk RS dia hampir tidak pernah sakit, kecuali demam setelah diimunisasi. Tapi ternyata tidak nyenyak tidur dan tidak mau menyusu/makan juga merupakan gejala yang perlu diwaspadai.
3. Biasanya saya jarang membagikan kesedihan di medsos. Tapi kali ini kami sudah merasa sedemikian beratnya, sehingga kami memutuskan untuk minta doa dan dukungan dari semua orang, semua teman, lewat IG/FB/WA di hari ke-5 Aleesha di ICU. Alhamdulillah, ternyata rezeki itu beragam bentuknya. Salah satunya adalah mengalirnya doa dan dukungan dari entah berapa banyak orang. Kami sangat terharu dan merasa dikuatkan. Sangat-sangat berarti bagi kami yang sedang berjuang. Terima kasih. Jazakumullah ahsanal jaza. Hanya Allah yang bisa membalasnya.
4. Kami merasakan sekali, betapa berharganya memiliki pasangan dan keluarga yang saling mendukung, saling menguatkan, saling menghargai, di saat senang maupun susah. Juga teman-teman dan keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan. Entah seberat apa beban psikologis yang harus kami tanggung bila kami tidak memiliki itu semua. Alhamdulillah.
5. Usaha yang maksimal dan pantang menyerah, dibarengi dengan kesabaran, keyakinan akan pertolongan Allah, dan disertai dengan hati yang ikhlas dan pasrah. Dan tetap berdoa. Dan tetap bersedekah. Dan tetap bersyukur, karena seberat apapun cobaan yang menimpa kita, pasti lebih banyak nikmat dan keberkahan dari Allah yang sudah kita terima. Dan kita harus yakin pasti Allah akan menunjukkan hikmah yang besar dari semua kejadian yang menimpa kita, bila kita bersabar. InsyaAllah.
Keterangan foto: Aleesha dengan selang NGT-nya